Motivation Letter
I LOVE MY JOURNEY, I LOVE MY SELF
Hidup di keluarga yang tidak diatas
rata- rata, namun tidak sesulit yang hidup dibawah rata-rata. Melihat sekitar
kadang membuat sesak di dada. Menginginkan ini dan itu tanpa ada habisnya.
“kehidupan yang tidak adil, orang – orang yang tidak peduli, menangis tanpa
henti, berteman tanpa hati” itulah aku, dikala aku tidak mengenal apa arti dari
kehidupanku.
Namaku Diah Melinda, saat ini aku
berusia 20 tahun. Aku tinggal dengan kedua orangtuaku di Indralaya, Kab. Ogan
Ilir, Sumatra Selatan. Saat ini aku berkuliah di Universitas Brawijaya, Malang.
Salah satu universitas terkenal dan terbaik di Indonesia. Aku mempunyai dua
orang kakak perempuan dan satu orang adik perempuan. Kakak pertamaku berinisial
RAD, ia berusia 27 tahun saat ini, belum menyelesaikan pendidikannya S1-nya,
belum juga berkeluarga, dan tidak mau bekerja. Kakak Keduaku berinisial SR, ia
berusia 25 tahun sebentar lagi, telah menyelesaikan pendidikannya dan mendapat
gelar sarjana teknik, belum berkeluarga, namun setidaknya ia telah memiliki
pekerjaan. Sedangkan adikku berinisial R, ia berusia 12 tahun sebentar lagi,
sedang menempuh pendidikan di sekolah menengah pertamanya di salah satu sekolah
di Indralaya. Sedangkan Ayahku seorang buruh tani yang penghasilannya tidak
pasti, Ibuku seorang Ibu Rumah Tangga yang tegar dan kuat, yang berhasil
mendidikku menjadi seorang yang dengan izin Allah bisa menjadi manusia yang
berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Aku masih mengingat semua kisahku
dari umur lima tahun, namun jika ku kisahkan semuanya di kertas ini tidak akan
cukup. Aku akan mengisahkan hal-hal pentingnya saja.
Dulu, aku memandang diriku
sebagaimana aku tuliskan di paragraf pertama, merasa seolah diriku ini yang
paling menderita. Namun tanpa sadar
perlahan pemikiran aku akan diriku, akan hidup yang aku jalani memudar. Aku
rasa semua perlahan mulai kelabu ketika aku mengenal agamaku lebih dalam dan
juga tamparan kenyataan.
Sebagai anak ketiga, tentu anak
pertama dan anak kedua adalah contoh yang dianggap benar oleh orangtua. Jika
anak pertama berhasil, maka anak kedua, ketiga dan seterusya juga akan
berhasil, begitu pun sebaliknya. Diusiaku 17 tahun, usia seorang remaja mulai
beranjak dewasa, mencoba memikirkan masa depannya. Aku diberikan ultimatum
untuk tidak perlu melanjutkan ke perguruan tinggi dan mengambil sekolah
kedinasan. Alasannya karena tidak ada biaya dan juga karena kakak pertamaku dan
kakak keduaku yang masih kuliah. Marah, sedih, kecewa, itulah yang aku rasakan.
Disaat aku bersemangat dalam menggapai mimpiku, menjadi seorang ahli di bidang
teknik dan bekerja di perusahaan LNG Badak di Kalimantan, aku menjatuhkan
mimpiku karena ultimatum itu, bukan salah ultimatum tapi karena aku yang sudah
menyerah lebih dulu. Aku pun akhirnya mencari sekolah kedinasan yang aku minati
agar mimpiku dan mimpi orangtuaku bisa sejalan, dan aku jatuh hati pada STAN.
Ketika duduk di bangku kelas tiga SMA, otak dan hatiku masih berpikir
tentang perguruan tinggi negeri dan juga program studinya. Aku pun memberanikan
diri lagi untuk berbicara dengan kedua orangtuaku, dan mereka memberi izin asal
aku mendapatkan beasiswa. Semangatku kembali tumbuh, aku mencoba memahami
fisika, biologi, matematika yang mana semua itu pernah kutinggalkan karena tak
ingin mendapat masalah. Namun lagi, aku ditampar ultimatum baru. Aku tidak
direstui mendapat gelar S1 dan tidak usah kuliah dikarenakan kakak pertamaku
tak kunjung menyelesaikan studi-nya di perguruan tinggi negeri. Saat itu aku
terduduk lemas, tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua usaha serasa sia-sia.
Menangis pastinya, tetapi tak lama karena aku pernah mengalami hal ini. Aku pun
segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat karena waktu sudah masuk
asar. Sesak, itulah yang bisa aku utarakan. Tetapi aku bersyukur dulu aku
segera mengambil wudhu, karena setelah itu hatiku merasa lega dan berdamai pada
diri. Sayangnya kedinasan juga bukan
takdirku, dan aku berakhir dengan gap
year atau beristirahat dari pendidikan, rencananya hanya ingin satu tahun
tetapi lagi – lagi ultimatum dan kenyataan yang tak pernah kubayangkan
menghampiri. aku gagal di kedinasan tahun kedua dan juga belum mendapat restu
bersekolah di perguruan tinggi negeri. Lebih mengagetkan adalah orangtua ingin
aku menikah saja. Salah satu struggle terbesar
yang aku rasa adalah saat itu. Tak ada kepercayaan diri menghadapi dunia, ingin
menghilang dari masyarakat, mentalku sakit. Aku merasa sampah masyarakat.
Saat ini aku menjadi mahasiswa administrasi publik 2020 di Universitas
Brawijaya, Universitas yang terkenal akan prestasi dan fasilitas yang ada.
Bukti bahwa aku berhasil menaklukkan masa sulitku. Dari Orangtuaku, aku
mendapat mental yang lebih kuat. Dari teman-temanku aku mendapat support system yang begitu hebat. Dan
dari memahami agamaku lebih dalam, aku semak in yakin akan kuasa Allah SWT.
Aku mendapat restu dari orangtuaku untuk menempuh pendidikan di
perguruan tinggi negeri dimana pun aku mau, aku mendapat lingkungan teman yang
membangun diri dan saling menolong, dan InsyaAllah mendapat beasiswa hingga
akhir. Semua itu membuatku mempunyai prinsip “kalau berhasil berarti rejekiku,
kalau tidak berarti bukan rejekiku”, “tugasku adalah berusaha yang terbaik,
biar Allah SWT. yang tentukan hasilnya”. Belajarku di perguruan tinggi ini
adalah beribadah karena Allah Ta’ala.
Tujuanku masih sama, membahagiakan kedua orangtuaku. Aku juga ingin
menikah, tetapi bukan saat ini. Karena aku ingin menikahi sosok pria yang
menerima cita-citaku ini, karena definisi cintaku adalah membuat seseorang
menjadi lebih baik.
Hidup itu adalah masalah. Masalah tak akan kunjung berakhir jika terus
saja melarikan diri, yang ada hanya menumpuk deadline . Kalau merasa masalahnya berat, coba berhenti sejenak dan
memandang dari sudut berbeda. Coba bertanya pada Tuhan apa yang sebaiknya
dilakukan. Bercerita pada orang susahnya kita adalah mengeluh, tetapi jika pada
Tuhan adalah mengaduh, dan Allah senang dengan orang-orang yang mengaduh
kepada-Nya.
Aku mencintai diriku, mencintai perjalanan hidupku. Setiap orang mendapat beban sesuai kesanggupannya. Memang kisahku nggak sesenggara orang lain, dan aku juga tidak ingin menjadi ataupun menganggap diriku sengsara sebagaimana dulu aku.
#LoveSelf#Love
Journey
#Adhikara58
#MabaUB2020
#RAJABrawijaya2020
#KitaSatuBrawijaya
#KreasiNyataBrawijayans

Komentar
Posting Komentar
kritik dan saran yang membangun dari para readers akan sangat saya hargai untuk membuat cerita maupun blog ini menjadi lebih baik lagi.