Memahami Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Wujud Collaborative Governance dan Upaya Akuntabilitas Perusahaan

 Diah Melinda || Administrasi Publik || Fakultas Ilmu Administrasi || Universitas Brawijaya



        Corporate Social Responsibility (CSR) adalah bentuk komitmen perusahaan untuk berkontribusi terhadap pembangunan sosial yang berkelanjutan namun tetap berada dalam batas keseimbangannya pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Zaidi dkk., 2016). Secara global, istilah CSR telah digunakan sejak tahun 1970-an dan menjadi awal perkembangannya ketika buku John Elkington yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business yang terbit tahun 1998. Dalam bukunya, Elkington mengonsep CSR dengan istilah 3P: yakni Profit, Planet, dan People. Menurutnya, perusahaan yang baik tidak hanya berfokus mencari keuntungan ekonomi semata (profit), namun juga mempunyai andil dan kepentingan terhadap kesejahteraan masyarakat (people) dan kelestarian lingkungan (planet) (Limijaya, 2014).

Indonesia sebagai negara dengan ekosistem bencana yang kerap terjadi baik alam maupun sosial mengupayakan wujud CSR ini terimplementasi dengan baik. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terkait CSR dalam pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas menyatakan bahwa perseoran yang melakukan tatausaha di bidang dan atau yang berhubungan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kemudian diperkuat kembali regulasi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Perseroan terbatas memiliki tanggungjawab sosial dan lingkngan yang berperan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan komitmen yang kuat guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan sekitar. Berdasarkan regulasi yang tertera, dapat dipahami bahwa pembagunan sosial suatu negara tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja namun juga diperlukannya peran swasta sehingga terwujudnya kesejahteraan sosial. Proses kolaborasi dalam pembangunan sosial tersebut dapat diimplementasikan melalui pelaksanaan CSR.

Keterbatasan pemerintah juga menjadi alasan diperlukannya banyak peran aktor dalam penanggulangan bencana maupun mitigasi bencana. Tanggungjawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai strategi perusahaan untuk meminumkan dampak negatif serta memaksimalkan dampak positif bagi parak pemangku kepentingannya, konsep CSR melibatkan pertanggungjawaban kemintraan antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas masyarakat setempat yang bersifat aktif dan dinamis. Dari sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR di Indonesia adalah definisi dari Suharto (2007) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosialekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan.

Namun perlu dipahami juga, bahwa tidak semua pihak yang mengalami bencana kemudian menjadi tanggungjawab perusahaan untuk ikut andil dalam penanggulangan bencananya karena CSR terutama perusahaan swasta hanya ditujukan kepada pemangku kepentingan perusahaan—mereka yang bisa mempengaruhi dan terpengaruh oleh pencapaian tujuan perusahaan—sehingga yang menjadi tanggungjawab sosial perusahaan adalah para pemangku kepentingannya yang mengalami bencana.  Dalam hal ini, pemangku kepentingan utama perusahaan misalnya adalah pekerjanya sendiri, konsumennya, serta masyarakat yang tinggal di dalam atau dekat dengan wilayah operasi perusahaan. Tujuan dari CSR sendiri diantaranya (Saputri, 2011):

1.  Meningkatkan citra perusahaan, biasanya secara implisit diasumsikan perilaku perusahaan secara fundamental yang baik.

2.  Menunjukan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kontrak sosial di antara organisasi dan masyarakat.

3. Sebagai perpanjangan dari bentuk pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menginformasikan kepada para investor.

Wujud nyata dari komitmen Perseroan tercermin dengan adanya program-program CSR yang sudah pernah dilaksanakan, diantaranya Perseroan bantuan dalam pembangunan sumur bor serta penyediaan instalasi air bersih yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air pasca bencana gempa di Lombok, Palu, dan Selat Sunda ( menjalankan serangkaian inisiatif peduli sosial dan perbaikan serta pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari kepedulian Perseroan dalam pemulihan pasca bencana terdampak gempa dan tsunami di beberapa daerah di Indonesia seperti Lombok, Palu dan Selat Sunda (stptower.com). Penerapan CSR juga dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos dengan membuat program Mernek Jenek di Desa Mernek dengan tujuan untuk mengembangkan potensi desa dan membuat masyarakat betah tinggal dan berkehidupan di Desa (Trianingrum dkk., 2022). Program Mernek Jenek tentu dilakukan tidak terlepas dari keterlibatan dan dukungan 3 Aktor lainnya: pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sinergitas kolaboratif aktor-aktor tersebut tentunya sesuai dengan peran masing-masing dalam proses pemberdayaan masyarakat.

Menurut Dwiyanto dalam penelitian Nopriono dan Suswanta (2019), collaborative governance adalah implementasi manajemen yang menghargai keragaman nilai, tradisi dan budaya organisasi, serta bekerja dalam struktur yang relatif longgar dan berbasis pada jaringan partisipatif yang difokuskan pada nilai dan tujuan bersama dengan kapasitas mengelola konflik sesuai dengan perannya. Lebih luas dipahami bahwa collaborative governance adalah metode pengelolaan pemerintah yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan (stakeholder) untuk berorientasi pada consensus dan musyawarah pada pengambilan keputusan dengan tujuan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dan program publik secara kolektif (Astuti & Warsono, 2020).

Hal yang diharapkan dari wujud kolaborasi ini adalah kepercayaan (trust), komitmen terhadap proses (commitment to process), saling memahami (share understanding) dan hasil jangka menengah dari proses tersebut (intermediate outcome), serta pembagian sumber daya dalam proses kolaborasi (Ansell & Gash, 2008). Peran pemerintah dalam pelaksanaan CSR adalah sebagai pengorganisasian masyarakat, Pengorganisasian masyarakat diperlukan sebagai alat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Trianingrum dkk., 2022). Pengorganisasian masyarakat diperlukan sebagai salah satu cara yang efektif dan kolektif dalam menjalankan CSR dan tujuan kesejahteraan kolektif dapat mudah dicapai secara kelompok daripada pelaksanaan secara individu.

Pengertian CSR yang menurut penulis paling komprehensif adalah menurut Suharto (2007) yang mengatakan jika CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya dalam peningkatan keuntungan perusahaan secara finansial, namun juga keuntungan dalam membangun sosial-ekonomi kawasan sekitar operasi perusahaan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan CSR antara lain (Wibisono, 2007):

1.    Bagi perusahaan:

a.    Dapat tercipta citra positif dari masyarakat secara luas.

b.    Memudahkan akses terhadap modal (capital).

c.    Mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas

d.    Meningkatkan potensi pengambilan keputusan dalam hal kritis

2.    Bagi masyarakat:

a.   Meningkatkan kualitas sosial daerah dari adanya perusahaan.

b. Membuka lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat melalui hak-hak sebagai pekerja yang diperoleh.

c.    Praktik CSR akan meningkatkan nilai dari tradisi dan budaya lokal.

3.    Bagi lingkungan:

a.   Dapat mencegah eksploitasi berlebihan atas SDA yang ada.

b.  Ikut andil dalam memelihara lingkungan apabila penerapan CSR baik di lingkungan tersebut.

4.    Bagi negara:

1. Dapat mencegah corporate misconduct atau malpraktik bisnis jika penerapan CSR baik dan berintegritas tinggi.

2.    Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan negara dari operasi perusahaan tersebut.

Referensi:

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.

Astuti, Retno Sunu, & Warsono, Hardi. (2020). Collaborative Governance dalam Perspektif Administrasi Publik. Journal of Government and Civil Society, 4(1), 161.

Limijaya, A. (2014). Triple Bottom Line Dan Sustainability. Triple Bottom Line Dan Sustainability, 18(1), 14–27.

 Nopriono, & Suswanta. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Collaborative Governance. JPK: Jurnal Pemerintahan Dan Kebijakan, 1(1), 7–8.

Saputri. (2011). Strategi Public Relations PT. Garuda Indonesia (Persero) Dalam Upaya Menjaga Citra Positif Perusahaan Melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) Kemitraan. Skripsi, Universitas Bina Nusantara.

STP. (Tanpa Tahun). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Online, diakses dari: https://stptower.com/tanggung-jawab-sosial-perusahaan/.

Suharto, E. (2007). Corporate Social Responsibility : What is and Benefit for Corporate. Journal of Accounting and Public Policy.

Trianingrum, S., A.C. Arfidiandra, F.A. Tsani, F.F. Anggoma, & A.M. Mubarok. (2022). Collaborative Governance in CSR: Praktik CSR PT Pertamina Patra Niaga FT Maos dalam Program Mernek Jernek. Jurnal CARE, 7(1), 1-14.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Wibisono, Yusuf. (2007). Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility). Jakarta: PT Gramedia.

Zaidi, Hasbi, Surya, Roberta Zulfhi, & Juslan. (2016). Analisa Strategi dan Sinkronisasi CSR dengan Program Pemerintah dalam Pembangunan Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal BAPPEDA, 2(1), 242–249.




Komentar

Postingan Populer