Review Buku Bacaan:


 REVIEW PER BAB

Identitas Buku:
Judul               : Gelandangan di Kampung Sendiri: pengaduan orang-orang pinggiran
Penulis            : Emha Ainun Nadjib
Penerbit           : Bentang Pustaka
Tahun Terbit    : 2018
Halaman          : viii + 296 halaman
Genre               : Sosial Budaya
ISBN               : 978-602-291-472-3

Sinopsis Novel
Rasa-rasanya, para pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka, mereka merasa sah dan tidak berdosa kalau memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat karena merasa merekalah yang berhak membuat peraturan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk menaatinya.

Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah hak atas segala aturan berada di tangan rakyat? Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Maka menjadi aneh jika rakyat terus-menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan.

Karena rakyatlah pemilik pembangunan.

Ulasan Buku:

Setelah mempertanyakan kebijakan pada bab sebelumnya, Bab 3 menceritakan tentang sebuah desa bernama Desa Mollo. pembahasannya cukup singkat, mengenai suatu desa yang masyarakatnya notabane sebagai peternak sapi di sebuah hutan yang bisa dianggap keramat oleh warga sekitar. namun sayang, hadirnya program pemerintah tentang reboisasi menghancurkan pendapatan warga, pasalnya hutan yang ingin dibabat sebagai proyek adalah ladang rumput tempat pelepasan sapi. namun sekat-sekat untuk reboisasi telah mengacaukan ekosistem masyarakat disana, dan aspirasi warga tidak digubris. masyarakat menuntut keadilan dan demokrasi Pancasila namun sayang tak ada yang didengar. Perundingan dan dialog masyarakat dan pemangku kekuasaan hanya sebuah bias yang tidak kunjung terealisasi, bahkan wakil rakyat tak dapat digapai oleh rakyat. keluhan hanya sampai kepada sekertaris, miris. 

Lanjut bab membahas tentang buruh. Untuk buruh sendiri menghabiskan kurang lebih 3 bab. Buruh adalah kita, kita semua adalah buruh. ada hal yang sepemikiran dengan saya dari bagian ini. bahwa permogokan dan demontrasi adalah hal yang mengganggu ketentraman sosial, namun sangat disayangkan adalah penyebab terjadinya hal tersebut. sama seperti mesin, buruh juga tidak menginginkan mogok dan demonstrasi perkepanjangan, lalu pertempuran antar pelindung keamanan dan juga masyarakat. Lalu dalam buku memberikan terobosan seperti menciptakan suatu teater dengan hal pokok membahas tuntutan buruh dan sistem kerja yang berlaku pada suatu perusahan, dengan bumbu improvisasi dan lakon yang mereka hapalkan dengan sendirinya akibat hukum alam. Di dalam bab ini juga menjelaskan bahwa buruh identik dikaitkan dengan komunis, padahal di daerah komunis sendri buruh lebih ditindas dan dieksploitasi tanpa belas kasih, buruh di daerah kapitalis lebih makmur dan sejahtera. Tuntutan dan aspirasi mereka didengar dan dijadikan inovasi. Kalimat akhir yang saya suka

"membela buruh pada hakikatnya adalah membela teman".

Andai buruh dimakmurkan, tentu buruh juga akan berusaha untuk memakmurkan tempat kerjanya.

Komentar

Postingan Populer